Kami Sekumpulan anak muda yang memiliki ide
kreatif tergabung dalam suatu komunitas yang bernama "Lembaga
Lingkar" telah mengadakan lomba mewarnai tingkat TK dan sekolah dasar. Lomba ini diselenggarakan pada tanggal 18
februari 2017 dengan tema " Warna
Warni Vlaardingen Makassar Tempoe Doloe"
yang diikuti sebanyak 53 peserta tanpa dipungut biaya apapun.
Lomba ini diadakan karena kegelisahan kami
dengan kondisi sekarang. Kami sangat jenuh dengan pemberitaan di media-media
yang hanya memberitakan mengenai politik,
agama dan suku. Bila berbicara tentang sejarah, Soekarno menginginkan
Indonesia menjadi suatu negara Kesatuan, Bhineka Tunggal Ika, Menajdi Negara
Indonesia yang baru, bukan negara yang
mengatas namakan agama, ras dan suku tertentu.
Oleh karena itu, kami sepakat memperkenalkan
sejarah pada adik-adik yang masih duduk di TK dan bangku sekolah dasar. Selain
memperkenalkan sejarah kepada adik-adik calon penerus bangsa, kegiatan ini juga
bertujuan memicu terdorongnya kegiatan yang kreatif dan inovatif berkaitan
dengan sejarah.
Sekilas berbicata tentang Kota Makassar,
pasti terlintas sebuah kota besar yang dipenuhi dengan pusat perbelanjaan, gedung-gedung megah, masyarakat yang dominan
hidupnya mengikuti trend masa kini atau yang biasa dikenal dengan sebutan
kekinian. Modernisasi kehidupan yang terjadi di Makassar seolah-olah telah
mengaburkan ingat kita tentang sejarah kota tercinta ini.
Berbagai etnis masyarakat Kota Makassar
sangat beragam antara lain etnis Makassar,
etnis Bugis, Melayu, Arab, Tionghoa dan beberapa etnis lainnya.
Beberapa etnis yang ada di Kota Makassar memberikan kesan tersendiri dalam pembangunan
dan perkembangan. Oleh karena itu pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, Kota
Makasar dikenal dengan sebutan kota "Kosmopolitan".
.
Kehadiran
masyarakat peranakan Tionghoa di Kota Makasssar memberikan peranan penting dan
memperlihat entitasnya tersendiri, yang pada saat itu sebagian besar dari
mereka berada di daerah Pecinan di sebelah Utara Benteng Rotterdam (sekarang Jalan
Sulawesi). Mereka tidak hanya terlibat dalam perdagangan saja, lebih jauh lagi
mereka juga melibatkan diri kedalam dunia politik. Misalnya Hoo Eng Djie
seorang aktivis politik bersama Daeng Talli sangat gencar memberikan dukungan
kepada gerakan masyarakat anti Belanda.
Pada saat yang sama, masyarakat Tionghoa
menempatkan diri mereka menjadi bagian dari masyarakat Kota Makassar sangat
jelas terasa ketika Ang Ban Tjion sebagai penyair membuat pantun dengan
menggunakan bahasa Melajoe-Makassar.
Percetakan Volksdrukkerji milik orang
Tionghoa bernama Chasim terus mempublikasikan karya sastra lokal berbahasa
Bugi-Makassar hal ini sebagai upaya untuk memperkenalkan karya sastra kepada
masyarakat luas. Selain itu, masyarakat Tionghoa juga memperlihatkan
berbagai pentas hiburan misalnya
pementasan wayang yang diselenggarakan pada saat tahun baru (Imlek) yang
dibarengi munculnya perkumpulan musik Hwa
Kiauw Im Gak Hwee.
Berbicara
tentang sejarah Kota Makassar, tidak pernah akan ada habisnya. Maka dari itu, memperkenalkan sejarah ke
adek-adek penerus bangsa merupakan langkah awal kami agar sejarah tetap direfleksikan
dan dikenang.
Sebagai pemula dalam mengadakan kegiatan Lomba
mewarnai begitu banyak hal-hal baru yang kami temui dan kami pelajari. Sehingga
kegiatan ini merupakan pengalaman pertama kami. Misalnya, seminggu menjelang
lomba kami sangat klabakan hal ini dikarenakan kurangnya persiapan dan urusan
lain yang tak kunjung selesai.
Pada saat pelaksaan lomba, ternyata terdapat
banyak kekurangan dan kesalahan yang kami lakukan. Pertama, kami sebagai
panitia ternyata tidak professional dalam memanajemen waktu dan pendaftaran
para peserta lomba. Hal ini dapat dilihat pada hari H, jumlah peserta membludak
dari yang diperkirakan. Kami juga harus senantiasa bersabar, terutama dalam
menghadapi keinginan orangtua atau guru para peserta. Saya sebagai panitia
sangat kaget ketika seorang ibu salah satu peserta mendatangi saya dan komplain
mengenai perlombaan yang sedang berlangsung. Berikut sepintas percakapan saya
dengan ibu tersebut.
si ibu “dek ada anak yang membawa
crayon?"
saya “tidak papa ibu, ini bukan lomba yang
mengharuskan siapa yang menjadi juara, tapi lomba ini diselenggarakan dengan
tujuan agar mereka tahu sejarah Kota Makassar, makanya kami panitia
menggratiskan acara ini kami juga memberikan sertifikat dan hadiah semua
peserta”.
si ibu “adek yang namanya lomba itu ajang kejam,
karna semua ingin berkompetisi dan pastinya setiap perlombaan harus ada yang
menjadi juaranya”
Tak ada yang bisa saya katakana lagi setelah
mendengar penjelasan ibu, ternyata selama ini kemungkinan ada beberapa orang
tua tidak memikirkan keutaman akan pengalaman dan keikutsertaan anaknya dalam kegiatan ini.
Semuanya menginginkan anaknya juara, itu kan bisa menjadi beban bagi
anak-anaknya sendiri?. Hal ini merupakan
renungan buat saya dan buat ibu-ibu lainnya, jangan sampai ini menjadi beban
bagi anak penerus bangsa. Sehingga membawa dampak yang negative bagi anak
penerus bangsa.
Kedua,
jumlah kertas mewarnai yang telah disediakan oleh panitia berkurang hal
ini dikarenakan jumlah peserta semakin banyak ketika hari terlaksanakannya
lomba mewarnai. Akhirnya, hal ini berdampak pada waktu. Waktu yang telah ditentukan
akhirnya diundur dari rundown acara yang semestinya.
Selain itu,
kami dihadapkan diantara keinginan anak dan protes dari guru atau
orangtua peserta. Berbagai macam masalah
yang kami dapatkan pada saat lomba dilaksanakan, kami dari (Lembaga Lingkar)
menjadikan hal ini sebagai bahan pembelajaran buat kami kedepannya agar kami
lebih profesional lagi dalam melakukan suatu kegiatan.
Acara ini bisa terlaksanakan karena, adanya dukungan
dari Perhimpunan Perankan Tionghoa Makassar, Pengurus Klenteng Xian Ma Makassar
terkhusus Pak Roby, Ir Yonggris Lao, teman-teman Lontara Projecht, teman-teman
Sastra Jepang Unhas dan Para Panitia Pelaksana Lomba Mewarnai.
Suasana Lomba Mewarnai di Klenteng Xian Ma. |
Foto Bersama Para Peserta Lomba Mewarnai |