Kamis, 23 Februari 2017

Keberagaman dan Multikulturalisme Kota Makassar

Kami Sekumpulan anak muda yang memiliki ide kreatif tergabung dalam suatu komunitas yang bernama "Lembaga Lingkar" telah mengadakan lomba mewarnai tingkat TK dan sekolah dasar.  Lomba ini diselenggarakan pada tanggal 18 februari 2017 dengan tema " Warna Warni Vlaardingen Makassar  Tempoe Doloe" yang diikuti sebanyak 53 peserta tanpa dipungut biaya apapun.
Lomba ini diadakan karena kegelisahan kami dengan kondisi sekarang. Kami sangat jenuh dengan pemberitaan di media-media yang hanya memberitakan mengenai politik,  agama dan suku. Bila berbicara tentang sejarah, Soekarno menginginkan Indonesia menjadi suatu negara Kesatuan, Bhineka Tunggal Ika, Menajdi Negara Indonesia yang baru,  bukan negara yang mengatas namakan agama, ras dan suku tertentu.
Oleh karena itu, kami sepakat memperkenalkan sejarah pada adik-adik yang masih duduk di TK dan bangku sekolah dasar. Selain memperkenalkan sejarah kepada adik-adik calon penerus bangsa, kegiatan ini juga bertujuan memicu terdorongnya kegiatan yang kreatif dan inovatif berkaitan dengan sejarah.
Sekilas berbicata tentang Kota Makassar, pasti terlintas sebuah kota besar yang dipenuhi dengan pusat perbelanjaan,  gedung-gedung megah, masyarakat yang dominan hidupnya mengikuti trend masa kini atau yang biasa dikenal dengan sebutan kekinian. Modernisasi kehidupan yang terjadi di Makassar seolah-olah telah mengaburkan ingat kita tentang sejarah kota tercinta ini.
Berbagai etnis masyarakat Kota Makassar sangat beragam antara lain etnis Makassar,  etnis Bugis,  Melayu,  Arab, Tionghoa dan beberapa etnis lainnya. Beberapa etnis yang ada di Kota Makassar memberikan kesan tersendiri dalam pembangunan dan perkembangan. Oleh karena itu pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, Kota Makasar dikenal dengan sebutan kota "Kosmopolitan".
.
Kehadiran masyarakat peranakan Tionghoa di Kota Makasssar memberikan peranan penting dan memperlihat entitasnya tersendiri, yang pada saat itu sebagian besar dari mereka berada di daerah Pecinan di sebelah Utara Benteng Rotterdam (sekarang Jalan Sulawesi). Mereka tidak hanya terlibat dalam perdagangan saja, lebih jauh lagi mereka juga melibatkan diri kedalam dunia politik. Misalnya Hoo Eng Djie seorang aktivis politik bersama Daeng Talli sangat gencar memberikan dukungan kepada gerakan masyarakat anti Belanda. 

Pada saat yang sama, masyarakat Tionghoa menempatkan diri mereka menjadi bagian dari masyarakat Kota Makassar sangat jelas terasa ketika Ang Ban Tjion sebagai penyair membuat pantun dengan menggunakan bahasa Melajoe-Makassar. Percetakan Volksdrukkerji milik orang Tionghoa bernama Chasim terus mempublikasikan karya sastra lokal berbahasa Bugi-Makassar hal ini sebagai upaya untuk memperkenalkan karya sastra kepada masyarakat luas. Selain itu, masyarakat Tionghoa juga memperlihatkan berbagai  pentas hiburan misalnya pementasan wayang yang diselenggarakan pada saat tahun baru (Imlek) yang dibarengi munculnya perkumpulan musik Hwa Kiauw Im Gak Hwee.

Berbicara tentang sejarah Kota Makassar, tidak pernah akan ada habisnya.  Maka dari itu, memperkenalkan sejarah ke adek-adek penerus bangsa merupakan langkah awal kami agar sejarah tetap direfleksikan dan dikenang.
 Sebagai pemula dalam mengadakan kegiatan Lomba mewarnai begitu banyak hal-hal baru yang kami temui dan kami pelajari. Sehingga kegiatan ini merupakan pengalaman pertama kami. Misalnya, seminggu menjelang lomba kami sangat klabakan hal ini dikarenakan kurangnya persiapan dan urusan lain yang tak kunjung selesai.
           
Pada saat pelaksaan lomba, ternyata terdapat banyak kekurangan dan kesalahan yang kami lakukan. Pertama, kami sebagai panitia ternyata tidak professional dalam memanajemen waktu dan pendaftaran para peserta lomba. Hal ini dapat dilihat pada hari H, jumlah peserta membludak dari yang diperkirakan. Kami juga harus senantiasa bersabar, terutama dalam menghadapi keinginan orangtua atau guru para peserta. Saya sebagai panitia sangat kaget ketika seorang ibu salah satu peserta mendatangi saya dan komplain mengenai perlombaan yang sedang berlangsung. Berikut sepintas percakapan saya dengan ibu tersebut.
si ibu “dek ada anak yang membawa crayon?"
saya “tidak papa ibu, ini bukan lomba yang mengharuskan siapa yang menjadi juara, tapi lomba ini diselenggarakan dengan tujuan agar mereka tahu sejarah Kota Makassar, makanya kami panitia menggratiskan acara ini kami juga memberikan sertifikat dan hadiah semua peserta”.
si ibu “adek yang namanya lomba itu ajang kejam, karna semua ingin berkompetisi dan pastinya setiap perlombaan harus ada yang menjadi juaranya”
Tak ada yang bisa saya katakana lagi setelah mendengar penjelasan ibu, ternyata selama ini kemungkinan ada beberapa orang tua tidak memikirkan keutaman akan pengalaman dan  keikutsertaan anaknya dalam kegiatan ini. Semuanya menginginkan anaknya juara, itu kan bisa menjadi beban bagi anak-anaknya sendiri?.  Hal ini merupakan renungan buat saya dan buat ibu-ibu lainnya, jangan sampai ini menjadi beban bagi anak penerus bangsa. Sehingga membawa dampak yang negative bagi anak penerus bangsa.
Kedua,  jumlah kertas mewarnai yang telah disediakan oleh panitia berkurang hal ini dikarenakan jumlah peserta semakin banyak ketika hari terlaksanakannya lomba mewarnai. Akhirnya, hal ini berdampak pada waktu. Waktu yang telah ditentukan akhirnya diundur dari rundown acara yang semestinya.
Selain itu,  kami dihadapkan diantara keinginan anak dan protes dari guru atau orangtua peserta.  Berbagai macam masalah yang kami dapatkan pada saat lomba dilaksanakan, kami dari (Lembaga Lingkar) menjadikan hal ini sebagai bahan pembelajaran buat kami kedepannya agar kami lebih profesional lagi dalam melakukan suatu kegiatan.

Acara ini bisa terlaksanakan karena, adanya dukungan dari Perhimpunan Perankan Tionghoa Makassar, Pengurus Klenteng Xian Ma Makassar terkhusus Pak Roby, Ir Yonggris Lao, teman-teman Lontara Projecht, teman-teman Sastra Jepang Unhas dan Para Panitia Pelaksana Lomba Mewarnai.




Suasana Lomba Mewarnai di Klenteng  Xian Ma.

Foto Bersama Para Peserta Lomba  Mewarnai

Foto Bersama Panitia, Perhimpunan  Peranakan Tionghoa Makassar dan Pengurus Klenteng Xian Ma Makassar.

Para Pemenang Lomba Mewarnai

Rabu, 15 Februari 2017

BUKU, PRAM DAN JAKARTA


Dalam penulisan skripsi ketika masa kuliah, saya salah satu mahasiswa yang  sulit merangkai kata dalam kalimat. Tahun 2010 mata kuliah sudah tidak ada lagi sehingga sedikit demi sedikit saya mengumpulkan bahan-bahan skripsi.
Dikarenakan kesulitan saya dalam menulis maka salah satu dosen di Jurusan Ilmu Sejarah   Universitas Hasanuddin (UNHAS), memperkenalkan saya novel yang sangat tebal, kertasnya berwarna coklat, sampulnya berwarna hijau, coklat dan bertuliskan Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Bumi Manusia.
Saya sangat-sangat heran dan aneh saja kenapa diberikan buku ini, saya bolak-balik dari depan kebelakang dan membaca sinopsisnya. Batas waktu yang diberikan oleh dosen untuk menyelesaiankannya satu minggu dan novel Bumi manusia ini tebalnya 535 halaman.  
Ketika membaca buku Bumi Manusia dari halaman paling pertama, banyak sekali karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Novel ini menceritakan kejadian pada zaman Hindia Belanda sekitar Abad ke-19.  Kisah percintaan Antara Annalies Mellema dan Minke menambah keseruan cerita novel Bumi Manusia. Selain itu cerita Nyai Ontosoro yang menggambarkan seorang ibu yang tegar. Ayah dari Nyai Ontosoro memaksa Nyai Ontosoro menikah dengan Herman Mellem, Laki-laki dari Eropa. Selain itu hak atas Annalies Mellema sedikitpun tidak diberikan oleh ibu kandungnya Nyai Ontosoro.
Novel Bumi Manusia yang dituliskan oleh Pramoedya Ananta Toer, merupakan penulisan yang menarik cerita sejarah yang disajikan dalam bentuk novel.  Pramoedya Ananta Toer pula menuliskannya sangat terdiskripsi, seperti ketika Minke datang ke rumah Annalies Mellema dan Minke di ajak makan oleh Nyai Ontosoro, Pram membahasakan dalam  tulisannya dari meja makan, isinya, suara sendok semuanya dibahasakan. 

Setelah membaca novel Bumi Manusia, ternyata saya jadi ketagihan memiliki tetrologinya. Karena ketagihan membaca novel-novel yang ditulsi Pram, saya lebih memilih membeli novel-novel Pram dibandingkan membeli buku  untuk bahan skripsi. Saya rela pula  menghabiskan uang untuk membelinya.
Membacalah saya terus-menerus hingga lupa akan skripsi. Pencarian buku-buku Pramoedya Ananta Toer tidak sampai Di Jogjakarta saja. Pada tahun 2011 saya melakukan penelitian di Jakarta mengunjungi Perpustakan Nasional untuk melihat koran-kora tua.
Saya ngekost depan Kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan penerbit buku Lentera Dipantara letaknya  di Jakarta Timur, Jalan Multi Karya II/26 Utan Kayu. Saya semakin semangat untuk mengumpulkan Novel-novel karya Pram.
Dikala itu matahari berlahan-lahan memunculkan sinarnya, saya bergegas segera siap-siap. Saya tidak sendiri ada teman yang menemani mencari penerbit Lentera Dipantara. Selam perjalanan kami bertanya-tanya hingga bertanya tiga kali dimana Jalan Multi Karya, dan ketika itu kami naik Bus Metromini lalu kami naik bajai, ketika kami naik bajai kami bertanya-tanya pula dimana Penerbit Lentera Dipantara. Diluar dugaan saya sebelumnya saya bayangkan seperti ruko yang ada di Makassar, ternyata seperti rumah.
Rumah yang sangat sederhana tidak terlalu besar, adem karena terdapat pohon dan banyak kembang bunga. Saya melihat langsung ruangan  Pram yang biasanya dipakai untuk menulis karyanya, selain itu ruangan yang biasanya Pram pakai ketika diwawancarai, begitu banyak buku-buku dalam ruangan tersebut.
Karena ingin membaca beberapa koleksi Pram, maka cucu dan anak Pram itu  terheran-heran jauh dari Makassar dan datang dipagi hari, dan saya membeli banyak buku antara lain Midah Simanis Bergigi Emas, Larasati, Cerita Calong Arang, Panggil Aku Kartini Saja, Pasar Malam, Relaisme Sosialis dan Lainnya.
 

Anak terakhir Pram ketika itu menyampaikan ke saya bahwa “Anna kamu telat datang kerumah, ketika Beliau masih hidup begitu banyak mahasiswa datang kerumah untuk berdiskusi”.
 Betapa saya menyukai karya-karya Pram sehingga saya mendatangi penerbit dimana Novel-novel Pram diterbitkan.